Kabinet Omong Kosong
Organisasi sudah menjadi hal yang sungkan dijalani. Dahulu, organisasi mahasiswa dianggap sebagai ruang perjuangan—tempat menyuarakan gagasan, melatih kepemimpinan, dan memperjuangkan kepentingan bersama. Namun kini, semangat itu seolah terkikis. Yang tersisa hanyalah formalitas dan serangkaian aktivitas yang terasa kosong makna.
Kabinet dalam struktur organisasi mahasiswa saat ini sering kali hanya menjadi panggung pencitraan. Mereka yang berada di dalamnya lebih sibuk mengurus eksistensi pribadi ketimbang menjalankan amanah kolektif. Agenda kerja penuh jargon megah disusun dengan apik, tapi realisasinya nyaris tak terlihat. Lebih banyak gaya, sedikit aksi.
Rapat hanya menjadi ajang basa-basi, program kerja dijalankan asal jalan, dan kritik dipandang sebagai serangan personal. Budaya diskusi dan evaluasi digantikan oleh atmosfer penuh gengsi dan ego. Mereka yang berani mempertanyakan arah kebijakan dianggap “tidak loyal”, padahal justru merekalah yang peduli.
Mirisnya, mereka lebih peduli pada pencapaian visual: unggahan media sosial yang serba rapi, dokumentasi acara yang terlihat megah, dan bahasa formal yang terdengar manis. Namun di balik itu, substansi gerakan nyaris tak ada. Kegiatan yang dilakukan lebih bersifat seremonial ketimbang berdampak.
Kabinet seperti ini adalah cerminan dari kegagalan memahami esensi organisasi. Bukan tempat untuk mengejar status sosial atau menambah portofolio semata, organisasi adalah ruang untuk belajar berjuang bersama, berbagi beban, dan mendengar suara yang sering diabaikan.
Saatnya kembali pada akar. Organisasi harus menjadi alat perjuangan, bukan panggung eksistensi. Kita tidak butuh kabinet yang hanya pintar berkata-kata. Kita butuh mereka yang benar-benar bekerja.